Resensi Red Cliff II

Inilah akhir cerita dari perang besar dalam kisah Tiga Kerajaan di Negeri China. Saya ga akan membahas film ini panjang-panjang karena yang namanya film perang itu penuh dengan siasat perang, adegan baku hantam dan panah melayang yang harus anda lihat sendiri untuk dapat merasakan mengapa perang ini sungguh-sungguh merupakan perang besar di China.

Ini adalah perang antara Zhou Yu (Tony Leung) dan Cao Cao (Zhang Fengyi). Zhou juga dibantu oleh Raja Bei yang bersekutu dengannya. Meskipun pada awal cerita Bei pergi meninggalkan Zhou karena ragu dengan kekuatannya, saat perang terjadi mereka bertarung bersama lagi. Dan tidak ketinggalan satu tokoh penting dalam keberhasilan Zhou, yaitu Zhuge Liang (Takeshi Kaneshiro), si pembuat siasat perang yang rada-rada mirip sama pawang cuaca karena sesungguhnya salah satu faktor penentu kemenangan Zhou adalah keadaan cuaca yang berhasil dibaca dengan tepat oleh Zhuge Liang. Selain itu, Cao Cao yang berhasil ditipu oleh Zai Cai (Zhao Wei), istri Zhou, juga salah satu faktor kemenangan Zhou. Hal ini seakan-akan semakin menegaskan bahwa wanita adalah salah satu senjata yang ampuh untuk mengalahkan pria.
Langsung ke pembahasan... bagi yang sudah menonton film ini, pasti setuju dengan saya kalo film ini benar-benar film perang. Meskipun adegan perang besarnya hanya berlangusng kira-kira setengah jam sebelum akhir film, tapi dari segala persiapan, siasat dan trik-trik yang terjadi, penonton pasti bisa membayangkan dan menunggu-nunggu datangnya perang besar itu. Dan yang menambah mantap mata kita yang menonton peperangan tersebut, tentu saja suara. Perang besar itu semakin mantap dengan adanya suara tabuhan genderang besar sebagai tanda mulai perang, gemuruh langkah kaki dan teriakan para prajurit yang berlari, dentuman bom yang diluncurkan meriam, dan dentingan pedang yang saling beradu. Jadi buat yang belum menonton film ini, saya anjurkan untuk mencari bioskop yang sudah mempunyai sound bagus. Salah satu pesan moral yang dapat diambil dari film ini, dan juga menjadi alasan Zai Cai pergi kepada Cao Cao memintanya untuk mundur dan mengalah pada Zhou, adalah bahwa yang namanya perang bagaimanapun hanya akan menyisakan penderitaan. Hal ini pula yang terlihat saat adik Zhou, yang pernah menjadi mata-mata dalam pasukan Cao Cao, menangis histeris saat melihat salah satu prajurit Cao yang dulu pernah dekat dengannya tertembak panah di hadapannya. Agaknya pesan ini yang sudah hilang dari film-film perang lain, baik yang fiksi maupun based on true stroy, yang lebih banyak mengumbar adegan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment? Sharing?