Movie Review : G-Force

G is for Guinea Pigs in G-Force. Sebuah film dengan tokoh utama tiga guinea pig yang memiliki kemampuan seperti layaknya agen khusus. Ditambah seekor mole yang menguasai alat-alat teknologi tinggi, mereka mendapat sebuah misi untuk menyelamatkan dunia. Sayang, misi itu tak berjalan lancar dan mereka dianggap menyia-nyiakan uang pemerintah. Saat hendak ditangkap, mereka melarikan diri dan berakhir di sebuah toko binatang.

Lalu dimulailah perjuangan mereka untuk kembali sekaligus membuktikan diri bahwa mereka memang pantas menjadi agen rahasia. Perjuangan ini juga bukannya mudah. Mereka awalnya terpisah-pisah, bahkan si mole masuk ke truk penghancur sampah dan dikira tewas, tapi akhirnya bisa bersatu kembali untuk melawan sebuah ancaman bagi dunia, yaitu sebuah perusahaan besar yang memproduksi elektronik di seluruh penjuru dunia. Pada tiap benda elektronik tersimpan sebuah chip yang bisa mengubah perangkat tersebut menjadi robot dan menyerang manusia pada waktu yang telah ditentukan.

Dan kekacauan pun terjadi di seluruh kota. Terutama di toko-toko yang menjual elektronik. Puluhan elektronik menggabungkan diri menjadi satu robot raksasa. Saat dilihat siapa yang mengendalikan robot tersebut, ternyata adalah si mole yang ternyata masih hidup. Ia-lah dalang dibalik semua kekacauan ini dan yang menciptakan chip tersebut. Rupanya ia dendam pada manusia karena keluarganya dulu dihabisi dengan semprotan pembunuh hama. Tapi kemudian teman-temannya menyadarkan bahwa merekalah keluarganya. Tersadar, ia segera mematikan robot-robot tersebut. At the end, pasukan G-Force berhasil mendapat kepercayaan pemerintah dan menjadi the secret agent yang sesungguhnya. Sementara si mole menghabiskan waktunya dengan mencabuti chip-chip yang tersimpan di barang-barang elektronik ciptaannya.

Pembahasan… Secara keseluruhan tak ada yang istimewa dari film ini. Apalagi setelah menonton 3D dalam film The Final Destination, film G-Force sungguh tak memberikan kesan dari segi visualnya. Ditambah dengan jalan cerita yang (lagi-lagi) terlalu cepat, istilah-istilah yang asing di telinga, dan pengucapan yang (rasanya) kurang jelas, membuat topic permasalahan film ini agak susah dimengerti. Bagian yang menarik dan tak terduga hanyalah saat terkuaknya tokoh mole yang ternyata menjadi biang keladinya.

Movie Review : The Final Destination

Seri (yang tampaknya) terakhir dari Final Destination ini ditampilkan dalam format 3D. Kembali berkisah tentang orang yang mendapat penglihatan mengenai kejadian maut yang akan menimpa mereka. Kali ini, maut mengambil korbannya di sebuah lintasan balap nascar. Dari awal film, penonton sudah disuguhi dengan gambar-gambar mobil berpacu kencang ke arah layar (penonton). Karena itu, rekomendasi saya bila anda ingin menonton film ini, tontonlah di teater 3D, karena berikutnya paku-paku, pisau, bahkan batu siap melayang ke arah anda.

Bermula dari pemuda bernama Nick (Bobby Campo) yang menonton balapan bersama pacarnya, Lori (Shantel VanSanten), sahabatnya, Hunt (Nick Zano) dan kekasihnya Janet (Halley Webb). Selama balapan berlangsung, NICK juga memperhatikan beberapa penonton lainnya, seperti seorang wanita yang memaksa memakaikan tampon di kuping kedua anak laki-lakinya, dua pasangan kekasih, seorang pria berpakaian koboi, dan seorang petugas penjaga keamanan. Di tempat lain, di bagian pitstop arena, mobil-mobil antre menunggu perbaikan mobilnya selesai dilakukan. Sebuah obeng tertinggal di salah satu mobil yang langsung melesat meninggalkan pitstop. Obeng tersebut jatuh di tengah lintasan, dihantam ban mobil-mobil yang lewat dan tak berapa lama kecelakaan maut itu dimulai. Berawal dari mobil-mobil yang saling bertabrakan, menghantam pagar di depan bangku penonton, sebuah ban melayang menghempas kepala wanita yang datang bersama anak-anak tadi. Bangunan arena mulai roboh dan puing-puing menimpa penonton, tak terkecuali si petugas penjaga juga LORI. NICK ikut terhempas dan sebuah besi menembus punggung sampai ke dadanya.

Tersadar dari penglihatannya, NICK segera meminta teman-temannya untuk keluar. Sempat menimbulkan keributan sehingga beberapa orang (yang disebut di atas) juga ikut keluar, kecuali wanita dari 2 pasang kekasih itu dan si pria koboi. Tak berapa lama, terdengar suara keras dari dalam arena, orang-orang berlari keluar dan api besar membara. Lebih dari 50 orang tewas di arena tersebut. Penglihatan NICK tak berhenti disitu, ia sering melihat hal-hal yang tak berhubungan berkelebat dalam pikirannya. Dan setiap kali mendapat penglihatan, sesaat kemudian orang-orang yang terlibat dalam balapan mati dengan tragis. Diawali dari salah satu pria yang kekasihnya tewas, lalu wanita dengan 2 anak lelakinya (tak jelas apakah kedua anaknya sebenarnya tewas atau tidak dalam penglihatan NICK, yang pasti mereka tidak mati di kenyataannya).

NICK dan LORI kembali ke arena balap supaya NICK bisa mengingat urutan kematian orang-orang tersebut. Tiba-tiba se petugas penjaga, George (Mykelti Williamson) datang menghampiri dan berkata bahwa rekaman video pengawas mungkin bisa membantu mereka. Dari rekaman tersebut, diketahui bahwa selanjutnya yang akan tewas adalah seorang pria yang istrinya juga tewas saat itu, kemudian HUNT dan Janet, lalu BB dan LORI, dan terakhir NICK. Keesokannya, NICK, LORI, dan George menemui pria tersebut di tempat kerjanya. Pria itu tak percaya dan (yahhh….) maut itu datang. Well, rasanya cukup sampai di sini resensi film ini. Tak bagus rasanya bila anda melewatkan keseruan dan kejutan-kejutan selanjutnya bila anda sudah tahu endingnya. Yang pasti, you can’t run from your destiny.

Pembahasan… tak banyak yang bisa dibahas dalam film ini selain aksi-aksi sadis yang tampaknya cukup banyak disensor (atau mungkin memang tak ada. Entahlah…) sebelum diputar di bioskop tanah air. Dengan durasi film kurang lebih 90 menit, adegan demi adegan terasa berjalan terlalu cepat seakan maut tak mengenal kata istirahat. Bisa jadi film ini memang dikhususkan untuk format 3D karena begitu banyak adegan yang ‘menohok’ mata. Karena itu rasanya sayang bila menonton film horror pertama yang diputar di jaringan duasatu ini tidak dalam format 3D.

Movie Review : The Proposal

Margaret Tate (Sandra Bullock) adalah seorang editor buku yang terkenal galak kepada siapapun terutama pada bawahannya. Ia tinggal di New York dan terancam dideportasi ke Kanada, negara kelahirannya, karena visanya sudah habis. Margaret lalu punya rencana untuk menikah saja dengan bawahannya, Andrew Paxton (Ryan Reynolds) dan berpisah setelahnya. Andrew kemudian mengajak Margaret ke rumahnya di Alaska agar Margaret bisa berkenalan dengan keluarganya. Dan bisa diduga, mulailah segala drama dan komedi yang dibawakan dengan apik oleh Sandra Bullock yang meski sudah berumur 45 tahun masih saja memerankan seorang wanita single mencari cintanya.

Maka berangkatlah mereka menuju kampong halaman Andrew di Sitka, Alaska. Mereka dijemput oleh Grace (Mary Steenburgen), ibu Andrew, dan Annie (Betty White), nenek Andrew, yang langsung menganggap Margaret sebagai wanita penyihir. Margaret awalnya mengira Andrew tinggal di rumah kecil dengan kamar sempit penuh barang, tapi saat mereka tiba di rumah Andrew, rumah luas bak villa miliarder itu sudah kedatangan kerabat keluarga besar Andrew menyambut kehadiran Margaret yang dikenalkan secara sinis oleh ayah Andrew (Craig T. Nelson) sebagai bos Andrew. Dan bisa diduga, hubungan Andrew dan ayahnya memang tidak baik. Tak ketinggalan mantan pacar Andrew, Gertrude (Malin Akerman). Andrew mengumumkan pertunangannya dengan Margaret saat itu. Oleh hadirin yang datang, mereka diminta berciuman. Bisa dibayangkan betapa kakunya ciuman itu, meski kemudian mereka terlihat menikmatinya.

Hari-hari Margaret berlaku layaknya tunangan Andrew pun dimulai. Dari diajak Grace dan Annie pergi ke klab penari erotis, Ramone (Oscar Nunez), sampai diminta untuk menikah saat itu juga di rumah Andrew. Dengan alasan Annie ingin melihat Andrew menikah sebelum ia meninggal, Margaret dan Andrew pun setuju untuk menikah keesokan harinya. Margaret lalu diajak untuk mengepas baju nikahnya yang juga dipakai oleh Annie dahulu. Bahkan Annie memberinya kalung warisan keluarga. Margaret sungguh terharu dengan hal itu dan merasa menyesal telah membohongi mereka. Tapi tak ada pilihan lain selain meneruskan rencananya.

Sekembalinya Margaret dan Andrew ke rumah, ayah Andrew telah menunggu mereka. Ia mendatangkan pengacara yang telah menyelidiki Margaret dan mengetahui bahwa Margaret dan Andrew berbohong tentang pertunangan mereka. Tapi Andrew tetap mengatakan bahwa ia adalah kekasih Margaret dan akan menikahi Margaret besok. Keesokannya, Margaret berjalan menuju altar. Ramone (tokoh serba bisa ini yang akan menikahkan mereka) membacakan janji pernikahan. Tetapi sebelum itu, Margaret membuat pengakuan. Ia yang meminta Andrew untuk menikahinya agar tak terdeportasi. Dan ia juga tak bisa menghancurkan ketulusan keluarga Andrew dengan membohongi mereka. Margaret segera pergi dan pulang ke New York.

Margaret sedang membereskan barang-barang di kantornya, saat Andrew dengan nafas tersengal-sengal memanggil dan menyatakan perasaannya pada Margaret. Bahwa sejak mereka berciuman ia sudah jatuh cinta kepada Margaret. And so they ended happily together.

Pembahasan…film drama komedi memang tampaknya sudah jadi keahlian Sandra Bullock meski ia sudah terlihat terlalu tua dalam film ini. Film berjalan ringan, kocak dan akhirnyapun sudah bisa diduga tapi tetap saja membuat anda terus memperhatikan perjalanan cinta Andrew dan Margaret. Tokoh Gert menjadi tokoh yang dirasa kurang penting karena hanya muncul di beberapa adegan. Bisa dibilang fungsi perannya hanya untuk menyadarkan Andrew saat ia ditinggal Margaret sehingga Andrew memutuskan untuk mengejar Margaret. Sementara tokoh Ramone, si penari erotis, pemilik toko makanan, sekaligus pendeta ini memberi tambahan sisi komedi film ini. Terakhir, credit title film ini diisi dengan adegan saat Margaret, Andrew, Ramone dan kedua orang tua Andrew diwawancara oleh petugas imigrasi. Berbagai hal ditanyakan untuk menjamin kebenaran status perkawinan Margaret dan Andrew. Termasuk pertanyaan siapa yang di atas saat mereka bercinta.