Epilepsi, Bukan Penyakit Menular
EPILEPSI sering diidentikkan dengan penyakit yang menakutkan. Padahal epilepsi secara medis adalah penyakit akibat adanya gangguan pada otak.
Pada masyarakat awam, epilepsi lebih dikenal dengan nama ayan. Penyakit ini sangat menakutkan bagi masyarakat, terutama mereka yang berpendidikan rendah. Epilepsi bahkan dianggap sebagai penyakit kerasukan roh hingga kegilaan yang parah.
Anggapan tersebut sebenarnya sangat beralasan karena jika pengidap epilepsi yang parah bisa mendadak mengalami serangan dan mereka sanggup melukai diri sendiri. Misalnya, membentur-benturkan kepala atau memukul-mukul tubuh mereka sendiri. Serangan itu diiringi pula dengan keluarnya busa di mulut dan kejang yang berulang.
"Epilepsi sangat sulit dideteksi. Apalagi jika penderita mendapatkan epilepsi dengan serangannya ringan, misalnya kaget tanpa sebab tapi sering. Epilepsi sebenarnya terjadi karena lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak pada otak sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu," kata dokter spesialis saraf yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada, dr Yolanda Atmadja SpS.
Awal kata epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (epilepsia) yang berarti serangan. Penyakit ini tidak menular dan bukan penyakit keturunan. Epilepsi juga tidak identik dengan orang yang mengalami keterbelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi yang mendapatkan epilepsi tanpa diketahui penyebabnya.
Sebenarnya, di dalam otak penderita epilepsi terdapat sel-sel saraf (neuron), yang bertugas mengoordinasikan semua aktivitas tubuh, termasuk perasaan, penglihatan, dan berpikir. Namun, bagi penderita epilepsi, otot saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadilah serangan yang membuat penderita epilepsi mendapatkan kejang, terdiam sejenak, kaget dengan sangat hebat, hingga kejang-kejang dengan busa di mulut.
Pada penderita epilepsi, saraf otak tidak berfungsi dengan baik. Penyebabnya adalah trauma kepala (pernah mengalami cedera di daerah kepala) ataupun tumor otak. Sering juga disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, stroke, dan konsumsi alkohol berlebih ketika si ibu sedang hamil.
Menurut Yolanda, seseorang dapat dinyatakan menderita epilepsi jika orang tersebut mengalami kejang yang bukan karena alkohol dan tekanan darah yang sangat rendah.
"Alat pendeteksi yang digunakan biasanya adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) yang menggunakan magnet sangat kuat untuk mendapatkan gambaran dalam tubuh atau otak seseorang. Bisa juga digunakan EEG (Electro Encephalo Graphy) alat untuk mengecek gelombang otak," katanya.
Lalu, yang disayangkan, Yolanda menyebutkan, adalah pandangan masyarakat terhadap epilepsi yang sangat buruk. Bahkan, secara umum, masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi.
"Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular dan penyakit jiwa. Selain itu, epilepsi juga bukan karena kemasukan roh dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan," sebut dokter berambut ikal tersebut.
Lebih lanjut Yolanda mengatakan, banyak jenis epilepsi di antaranya epilepsi tonik klonik (grandmal), epilepsi absans (petit mal), epilepsi parsial sederhana, epilepsi parsial komplek, epilepsi atonik, dan epilepsi mioklonik.
"Cara menanggulangi jika kebetulan menemukan penderita epilepsi yang tengah kumat, jangan sekali- kali memasukkan atau meletakkan sesuatu ke dalam mulut penderita. Jangan memaksa membuka gigi atau menahan gerakan saat klonik (kejang). Biarkan penderita sadar sendiri," sebutnya.
Senada dengan Yolanda, ahli bedah saraf dari Universitas Indonesia (UI) Dr Dharmawan mengatakan, penderita epilepsi atau ayan bisa disembuhkan dengan pengobatan dan bedah saraf. Bahkan, diakuinya, penyandang epilepsi berkisar 1% dari total jumlah penduduk, atau sebanyak 2 juta jiwa. Sebanyak 70% di antaranya dapat disembuhkan dengan menggunakan pengobatan secara teratur.
Sementara 30% belum mampu diobati dengan mengonsumsi obat. "30% penyandang epilepsi bisa dibantu melalui operasi bedah saraf, dengan tingkat keberhasilan 90%," katanya.
Proses bedah saraf bagi penderita epilepsi menurut Dharmawan sekarang sudah sangat canggih. Terutama epilepsi yang diakibatkan gangguan pada otak samping atau lobus temporalis, dikenal dengan epilepsi psikomotorik.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment? Sharing?